TEKNOBUZZ – Teknologi AI telah membawa revolusi besar dalam hidup kita. Mulai dari ChatGPT yang membantu penulisan, Midjourney yang menciptakan karya seni, hingga asisten virtual yang mengatur jadwal. Namun, di balik kemudahan ini, ada fenomena mengkhawatirkan: kita mulai “berperilaku seperti mesin”.
Ketika Manusia Mulai “Berpikir” Seperti AI
Pernahkah Anda menyadari perubahan dalam cara kita berpikir? Dahulu, kita akan merenung, berdiskusi, atau mencari solusi kreatif saat menghadapi masalah. Kini, refleks pertama adalah “googling” atau bertanya pada ChatGPT, menyebabkan kita kehilangan proses berpikir mendalam dan personal.
Di banyak perkantoran Indonesia, baik pemerintah maupun swasta, pekerja kreatif yang dulu bangga dengan orisinalitas idenya kini lebih sering meminta ide dari AI. Presentasi yang dahulu personal kini seragam karena menggunakan templat AI. Bahkan, menulis pesan pribadi pun banyak yang memilih “bantuan” AI.
Fenomena FOMO AI di Indonesia: Sebuah Peringatan
“Masa sih belum pakai AI? Ketinggalan zaman banget!” Kalimat ini sering terdengar, mencerminkan FOMO (Fear of Missing Out) terhadap AI yang menciptakan tekanan sosial untuk menggunakannya dalam segala aspek kehidupan, bahkan saat tidak diperlukan.
Di Indonesia, fenomena ini semakin mengkhawatirkan. Startup berlomba mengklaim produk “AI-powered” tanpa memahami implikasinya. Profesional muda merasa tertekan menggunakan tools AI agar terlihat “up-to-date”. Bahkan content creator lokal mulai kehilangan keunikan karena terlalu mengandalkan AI.
Tanda-tanda Bahaya yang Perlu Diwaspadai
Beberapa perubahan perilaku yang mulai terlihat di masyarakat:
- Ketergantungan pada Jawaban Instan: Orang kehilangan kesabaran dalam proses pembelajaran; semuanya harus cepat dan instan, seperti cara kerja AI.
- Hilangnya Nuansa Emosional: Komunikasi menjadi lebih “terstruktur” dan “efisien”, namun kehilangan kehangatan dan sentuhan personal.
- Berkurangnya Kreativitas Asli: Banyak orang memilih “mengoptimalisasi” ide yang sudah ada daripada menciptakan sesuatu yang benar-benar baru.
- Pola Pikir Algoritmik: Kita mulai melihat masalah hanya dari sudut pandang “input-process-output”, kehilangan kompleksitas dan nuansa manusiawi dalam pengambilan keputusan.
Langkah-langkah Pencegahan yang Bisa Dilakukan
Mengembalikan Keseimbangan Digital:
- Tetapkan waktu “offline” setiap hari.
- Latih kembali kemampuan berpikir mandiri.
- Prioritaskan interaksi manusia langsung.
Penggunaan AI yang Bijaksana:
- Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti.
- Pertahankan proses kreatif personal.
- Evaluasi kebutuhan riil sebelum mengadopsi teknologi baru.
Membangun Kesadaran Kolektif:
- Diskusikan dampak AI dalam komunitas.
- Berbagi pengalaman dan pembelajaran.
- Dukung gerakan “digital wellbeing”.
Menemukan Keseimbangan
Tidak ada yang salah dengan mengadopsi teknologi AI. Yang perlu diwaspadai adalah ketika teknologi ini mulai mengubah esensi kemanusiaan kita. Mari ingat bahwa yang membuat kita manusia adalah kemampuan untuk berempati, berpikir kreatif, dan mengambil keputusan berdasarkan nilai moral dan etika.
Baca juga: Fatal, Ada Kekeliruan dalam Penanganan Keamanan Siber
Bagi kita di Indonesia, dengan kekayaan budaya dan nilai kearifan lokal, sudah seharusnya kita bisa memanfaatkan AI sambil tetap mempertahankan identitas dan keunikan sebagai manusia. Jangan biarkan kecemasan akan ketinggalan zaman membuat kita kehilangan sisi manusiawi.
Seperti kata pepatah, “Teknologi seharusnya mendekatkan yang jauh, bukan menjauhkan yang dekat”. Mari gunakan AI dengan bijak, agar teknologi tetap menjadi alat yang membantu kita menjadi manusia yang lebih baik, bukan sebaliknya.
Artikel ini ditulis oleh Ardi Sutedja K, pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF)