TEKNOBUZZ – Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyebut kondisi perusahaan operator seluler saat ini tidak sehat.
“Pertumbuhan operator seluler saat ini tidak sehat dengan regulatory charge yang tinggi yakni sekitar 12 persen. Padahal yang wajar regulatory charge seharusnya di bawah 10 persen,” ujarnya.
Di sisi lain disampaikan Merza, pertumbuhan pendapatan operator seluler juga tidak seperti masa jayanya dahulu.
“Ini yang wajib diperhatikan pemerintah supaya operator seluler yang menjadi tulang punggung perekonomian digital justru harus menjadi korban,” sambungnya.
Kondisi ini menurut Merza membuat operator sulit untuk mengembangkan jaringan, termasuk dalam upaya menggelar teknologi 5G yang dinilai mendesak untuk diterapkan selain ketersediaan spektrum.
Agar industri menjadi sehat kembali, ATSI disampaikan Merza telah mengusulkan kepada pemerintah untuk menurunkan BHP frekuensi sebesar 20 persen. Terkait lelang frekuensi untuk gelaran 5G, ATSI juga mengusulkan dihilangkannya up front fee (biaya dibayar dimuka) BHP frekuensi.
Menanggapi hal tersebut, Denny Setiawan, Direktur Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Kominfo menyebut Kominfo menyadari permasalahan yang ada dalam operator seluler di Indonesia.
“Pak Menteri (Kominfo) sudah bertemu para CEO sudah berproses untuk menyiapkan sejumlah aturan yang tidak memberatkan siapapun dan tidak menurunkan kualitas layanan seluler maupun internet kita,” ujarnya.
Sementara itu, Sigit Puspito Wigati Jarot, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel menyebut ada tiga isu penting dalam lelang frekuensi 5G.
Baca juga: Beban PNBP Terlalu Tinggi, Operator Telekomunikasi Menjerit
“Pertama yakni harganya harus terjangkau. Lalu, idealnya hanya satu pemenang tetapi pemenang wajib lakukan sharing kepada yang lainnya. Ketiga adalah pengalaman pengguna yang menyenangkan sehingga semakin semangat menggunakan 5G,” ungkapnya.
DI sisi lain, Mareta Pratiwi, Executive Secretary to PIDI 4.0 (Pusat Industri Digital Indonesia) Kementerian Perindustrian menyebut teknologi 5G yang memiliki potensi meningkatkan produk domestik bruto (PDB) manufaktur global 4% atau hanya di bawah USD740 miliar.
“Bisnis potensi 5G ini sudah diprediksi sejak 2019 dan sangat luar biasa, bisnis yang sangat menjanjikan. Hal ini sebenarnya peluang bagi dunia teknologi dan butuh implementasi jaringan teknologi 5G,” ungkap Mareta.