TEKNOBUZZ – Seperti dikabarkan Bloomberg beberapa waktu lalu, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) tengah mempertimbangkan untuk mengambil bagian dalam akuisisi GoTo Group oleh Grab Holdings Ltd. senilai USD 7 Miliar (Rp 113 Triliun). Jika terwujud, ini akan membuka peluang bagi pemerintah Indonesia untuk memiliki saham di gabungan dua raksasa teknologi Asia Tenggara.
Langkah Danantara ini dinilai sebagai respons terhadap kekhawatiran bahwa penjualan GoTo yang dianggap sebagai juara teknologi nasional kepada perusahaan Singapura bisa mengancam kedaulatan digital Indonesia. Keterlibatan Danantara diyakini akan memperbesar peluang kesepakatan ini mendapatkan restu dari Pemerintah Republik Indonesia.
Perlambatan Negosiasi karena Regulasi
Meskipun Grab dan GoTo telah membuat kemajuan dalam struktur kesepakatan merger, proses negosiasi melambat akibat potensi hambatan regulasi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga menyatakan akan meninjau risiko monopoli dan meminta kedua perusahaan menjamin kesepakatan tidak merugikan persaingan.
KPPU Pantau Isu Merger Grab dan GoTo
Untuk itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga menyatakan akan meninjau risiko monopoli dan meminta kedua perusahaan menjamin kesepakatan tidak merugikan persaingan.
Selain itu, KPPU menilai bahwa sistem pengawasan merger di Indonesia yang bersifat mandatory post-merger notification atau pemberitahuan wajib paska transaksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999), membuat KPPU tidak dapat melakukan penilaian atas transaksi merger dan akuisisi yang akan atau sedang terjadi.
Pernyataan ini secara resmi disampaikan oleh KPPU menanggapi adanya spekulasi aksi merger Grab dan GoTo yang bergulir di berbagai media dalam dan luar negeri. Apabila merger Grab dan GoTo tersebut benar terjadi, maka KPPU baru bisa melakukan penilaian apabila pihak tersebut melakukan notifikasi ke KPPU.
KPPU akan melakukan penilaian terhadap dampak persaingan dari suatu merger dan akuisisi setelah transaksi tersebut diberitahukan secara resmi oleh para pihak, yakni maksimal 30 hari sejak transaksi efektif. Selama transaksi merger Grab dan GoTo masih bersifat spekulatif, KPPU belum dapat memberikan penilaian terhadap merger yang diestimasikan bernilai Rp 114,8 triliun tersebut. Namun begitu, konsultasi sukarela tetap dapat diajukan oleh para pihak.
Berisiko Kurangi Kompetisi
Rencana masuknya entitas milik negara, Danantara, dalam proses perundingan merger antara GoTo dan Grab menuai sorotan tajam dari sejumlah pihak.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), sekaligus pengamat Ekonomi Digital, Nailul Huda kepada Tim TEKNOBUZZ menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak negatif yang mungkin timbul terhadap persaingan usaha di industri transportasi online.
Menurut Nailul, rencana merger antara dua raksasa ride-hailing, GoTo dan Grab, saja sudah menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya persaingan. Terlebih lagi dengan masuknya Danantara sebagai bagian dari operator dalam merger tersebut.
“Saya khawatir masuknya Danantara dalam perundingan GoTo-Grab akan lebih merusak persaingan di industri transportasi online,” ujar Nailul Huda.
Nailul menambahkan bahwa posisi Danantara sebagai bagian dari negara dapat membuka potensi intervensi dalam pengambilan keputusan lembaga-lembaga negara, terutama yang berkaitan dengan regulasi persaingan usaha.
Potensi Intervensi Negara Dikhawatirkan Timbulkan Konflik Kepentingan
Lebih lanjut, Huda menilai keberadaan Danantara dalam entitas merger berisiko mengikis netralitas dalam pengawasan persaingan usaha.
“Keputusan lembaga negara dalam memutuskan persaingan usaha akan rentan intervensi oleh negara, dalam hal ini Danantara,” katanya.
Menurutnya, kompetitor akan berpikir dua kali untuk masuk atau mengembangkan bisnis karena harus bersaing dengan entitas yang memiliki afiliasi dengan negara.
Pertanyakan Motif Masuknya Danantara
Nailul juga mempertanyakan motivasi Danantara bergabung dalam proses merger ini. Ia menduga rencana masuknya Danantara dalam merger Grab dan GoTo merupakan upaya untuk menghindari jeratan hukum dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
“Apakah ini langkah untuk keluar dari potensi jeratan KPPU? Saya rasa masalahnya bukan asing atau lokal, mereka sama-sama swasta,” ujar Huda.
Ia menegaskan bahwa jika merger tersebut menyalahi aturan persaingan usaha, maka GoTo dan Grab harus tetap tunduk pada regulasi yang berlaku, bukan mencari celah dengan melibatkan entitas milik negara.
Tidak Memberi Nilai Tambah, Justru Rugikan Konsumen
Selain itu, Huda tidak melihat adanya pengaruh signifikan dari Danantara terhadap kebijakan entitas bisnis hasil merger. Ia bahkan menilai keterlibatan negara dalam industri transportasi daring justru akan merugikan banyak pihak.
“Merger GoTo dan Grab yang disponsori oleh entitas negara melalui Danantara, akan merugikan pelaku usaha lokal, UMKM, dan konsumen di Indonesia,” ucapnya.
Ia memperingatkan bahwa dalam jangka panjang, dominasi satu entitas besar dapat mengurangi pilihan konsumen dan driver, membuka peluang terjadinya predatory pricing dan potensi monopoli. Sekedar informasi, Predatory pricing adalah strategi penetapan harga, dimana perusahaan menetapkan harga produk atau layanan jauh di bawah biaya produksi atau harga pasar dengan tujuan untuk menghilangkan pesaing atau menciptakan monopoli.