13.4 C
New York
Monday, April 28, 2025

Buy now

Spektrum Baru jadi Kunci Pembuka Potensi Industri 5G Indonesia

TEKNOBUZZ – Indonesia dinilai masih menghadapi tantangan dalam hal infrastruktur dan keterbatasan ketersediaan spektrum semakin menghambat kemampuan Indonesia untuk memperluas layanan 5G dan mencapai adopsi yang luas.

Carlos Oliver Mosquera, Partner di Kearney Singapura dan Head Kearney Technology Center of Excellence mengatakan bahwa, Indonesia memiliki kesempatan untuk melampaui pasar lain dalam hal ketersediaan spektrum. Spektrum frekuensi yang kini tersedia untuk operator telekomunikasi belum ideal untuk 5G.

Namun demikian, sudah  ada diskusi tentang pelepasan spektrum 700 MHz, 2,6 GHz, dan 3,5 GHz yang lebih relevan untuk 5G di Indonesia. Jika regulator dapat merilis spektrum ini secara bersih, hal ini akan menjadi perubahan besar. 

“Hal ini memungkinkan karena semua spektrum tersebut merupakan alokasi greenfield. Dengan demikian, operator dapat memperoleh spekturum berkualitas tinggi yang akan meningkatkan kapasitas dan kualitas jaringan,” ungkapnya.

Riset dari konsultan global Kearney mengungkapkan bahwa 5G akan memasuki ‘Impact Era,’ di mana operator akhirnya dapat mulai memanfaatkan investasi dan meraih  pertumbuhan secara komersial.

Untuk sepenuhnya memanfaatkan Impact Era, para operator kini berinvestasi dalam peluncuran API sebagai aliran pendapatan baru.

Perbandingan Negara

Indeks tahun ini menunjukkan bahwa penetrasi 5G meningkat, tetapi komersialisasi melambat, dengan negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Singapura yang menduduki lima besar dan penetrasi di Malaysia melebihi 50%.

Negara dengan Performa Terbaik

  1. Amerika Serikat (skor Indeks 8.3) mempertahankan posisi nomor satu berkat ketersediaan dan penetrasi 5G yang tinggi, penawaran komersial yang ambisius oleh operator termasuk sejumlah API canggih, dan munculnya ekosistem digital.
  2. Australia (7.4) mempertahankan penetrasi tinggi meskipun komersialisasi melambat. Infrastruktur yang kuat dan fokus pada jaringan privat  telah menjadikan Australia tetap kompetitif.
  3. Spanyol (7.3) memiliki penetrasi 5G yang tinggi. Kemitraan strategis Spanyol dan investasi dalam API jaringan telah memungkinkan komersialisasi 5G yang sukses, sehingga menjadikan Spanyol sebagai pemimpin di Eropa.
  4. Singapura (7.3)  mendapat manfaat dari fokus strategis pada kesiapan digital dan penerapan low-band. Investasi Singapura dalam infrastruktur Kota Cerdas (Smart City) dan integrasi layanan digital telah mendorong adopsi 5G secara luas, dan menempatkannya sebagai pemimpin regional.
  5. Finlandia (7.1) telah mencapai penetrasi yang baik dengan ekosistem digital yang matang dan cakupan 5G yang kuat.

Pasar 5G yang Dinamis di Asia Tenggara

Indeks tersebut juga menyoroti dinamika di Asia Tenggara, sebuah wilayah dengan pertumbuhan teknologi 5G yang beragam. Beberapa pasar kunci telah menunjukkan tren menarik:

  • Indonesia: Adopsi 5G masih menjadi tantangan bagi Indonesia, dengan tingkat penetrasi hanya 2% sejak 5G diluncurkan pada 2021. Hal ini disebabkan oleh jumlah stasiun pemancar dan jaringan fiber optic yang tidak memadai serta ketersediaan frekuensi yang terbatas.
  • Malaysia: Dengan  jaringan grosir tunggalnya, Malaysia telah mencapai lebih dari 80% cakupan populasi dalam waktu hanya tiga tahun. Negara  ini  tengah mengupayakan jarin
  • gan kedua untuk memicu persaingan dan mempercepat adopsi 5G. Malaysia juga baru saja mengumumkan tingkat penetrasi yang mendekati 55%.
  • Thailand: Operator-operator utama di Thailand telah meluncurkan tiga kelas spektrum dan terus berinovasi, dengan sebagian besar memperkenalkan API jaringan, termasuk konektivitas tingkat lanjut, yang menjadikannya sebagai negara menerima perhatian dalam segi inovasi.

Menurut Varun Arora, Managing Partner Kearney untuk Asia Tenggara, Indonesia juga dapat melampau pasar lain dalam hal adopsi pelanggan. Harga perangkat  kini  jauh lebih rendah dibandingkan ketika negara-negara lain memulai perjalanan adopsi mereka.

Konsumsi data per pelanggan di Indonesia dijelaskannya jauh lebih rendah dibandingkan pasar yang sejenis; misalnya, GB/pelanggan di Indonesia saat ini 40% lebih rendah daripada di Thailand.

“Dengan dukungan 5G, konsumsi data per pelanggan bisa meningkat dari 13 Gb/pelanggan saat ini menjadi 42 Gb/pelanggan pada 2030, lebih dari tiga kali lipat,” kata Varun Arora.

Baca juga: Indonesia Butuh Tambahan Spektrum Frekuensi untuk Internet Cepat

Menurutnya jika kita menggabungkan peningkatan adopsi yang lebih tinggi dengan ketersediaan spektrum berkualitas, Total Cost of Ownership (TCO) dari jaringan 5G mungkin lebih baik daripada jaringan 4G.

?Hal ini juga menjadi penting  karena sebagian besar operator global menghadapi tantangan untuk mendapatkan imbal hasil yang baik dari investasi mereka dalam spektrum 5G,” pungkasnya.

Related Articles

- Advertisement -spot_img

Latest Articles