1.7 C
New York
Wednesday, February 12, 2025

Buy now

Dicari, Capres yang Bisa Atur OTT di Indonesia

TEKNOBUZZ – Momen Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ini dinilai menjadi saat yang tepat untuk mencari pemimpin atau calon Presiden (Capres) yang dapat membuat regulasi untuk mengatur perusahaan over the top (OTT) asing dalam industri telekomunikasi Indonesia.

Hal ini dikarenakan polemik tentang regulasi terkait layanan OTT masih terus berlangsung hingga akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pasalnya Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo hingga kini belum menerbitkan aturan yang jelas terkait layanan Over The Top (OTT).

Diharapkan dalam lima tahun ke depan regulasi mengenai OTT masih belum bisa diwujudkan juka tidak ada Capres yang memahami dan mampu membuat regulasi tersebut.

Sejumlah pihak seperti perusahaan operator telekomuniasi hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah mendesak pemerintah dalam hal ini Kominfo untuk membuat regulasi layanan OTT. Bahkan DPR tidak hanya mendesak Kominfo tetapi juga Kementerian BUMN untuk segera menerbitkan regulasi layanan OTT.

Saat ini, masyarakat Indonesia semakin bergantung terhadap layanan OTT asing. Ketika sudah tergantung terhadap layanan OTT asing, banyak masyarakat justru mengeluh mengenai kelambatan akses internet di Indonesia.

Desakan perlunya regulasi terhadap layanan OTT karena dinilai adanya ketidakadilan dalam berusaha yang dialami oleh industri telekomunikasi Indonesia. Ketika OTT khususnya dari negara luar menikmati keuntungan dari masyarakat Indonesia, justru perusahaan operator telekomunikasi negeri ini menderita.

Hal ini lantaran mereka dipaksa untuk membangun infrastruktur digital yang cepat dan andal. Padahal untuk membangun infrastruktur digital yang mumpuni jelas tidaklah mudah serta tidak murah.

Belum lagi beban operator telekomunikasi yang saat ini sangat berat dengan regulatory charge yang besar yang diminta oleh negara. Mereka harus menanggung beban besar tetapi juga dituntut pemerintah untuk menyediakan infrastruktur terkini seperti 5G.

Menurut Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indinesia (Mastel), Sigit Puspito Wigati Jarot belum adanya regulasi terkait OTT ini dikarenakan kemampuan lobby para pemilik perusahaan OTT ini sangat dahsyat, melebihi kemampuan pejabat Indonesia yang tugasnya membuat regulasi.

Baca juga: Beban PNBP Terlalu Tinggi, Operator Telekomunikasi Menjerit

“Kalau kita sedang bahas untuk membuat PP atau PM, mereka lobby-nya bisa beberapa level di atas yang tugasnya membuat PP atau PM,” kata Sigit di ajang Selular Business Forum.

Lebih lanjut menurut Sigit monen Pemilu 2024 ini menjadi saat yang tepat untuk mennatang ketiga pasangan Capres – Cawapres untuk bisa membuat regulasi terkait OTT mengingat potensi pendapatan negara akan sangat besar.

Ketimpangan Pendapatan

Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, Sigit Puspito Wigati Jarot menyebut untuk menyehatkan industry seluler memang perlu ada regulasi untuk mengatur OTT. Dia menjelaskan jika saat ini terjadi ketimpangan pendapatan antara perusahaan operator telekomunikasi dengan Perusahaan OTT secara global.

“Dari data SNS Insider, OTT secara global mampu meraup 295,24 miliar USD pada tahun 2021 dan kemungkinan akan tumbuh hingga 1,951 triliun USD pada tahun 2030,” ujar Sigit.

“Pendapatan operator telekomunikasi pada tahun 2010 memang bisa mencapai 458 miliar USD dari SMS dan voice, sedangkan OTT dulu hanya 41 miliar USD. Tetapi, kini pada tahun 2021 terbalik, perusahaan telekomunikasi hanya mendapat 702 miliar USD sedangkan OTT 753 miliar USD. Prediksinya pendapatan OTT akan terus naik ke depannya,” sambung Sigit.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan saat ini perkembangan bisnis telekomunikasi terdestrupsi oleh perusahaan OTT yang membuat trafik voice dan SMS menurun.

“Perusahaan telekomunikasi hanya seperti penyedia pipa (dumb pipe) dengan capex dan apex yang besar. Sementara OTT berselancar di atas jaringan yang dibangun perusahaan telekomunikasi,” kata Heru.

Hal tersebut yang membuat Heru berpendapat bahwa harus ada sumbangsih OTT untuk turut membantu operator telekomunikasi membangun infrastruktur digital. Caranya bisa dengan pajak digital hingga penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.

Dia menambahkan Indonesia bisa belajar dari negara lain yang telah menerapkan digital services tax. “Indonesia bisa belajar dengan sejumlah negara yang telah menerapkan digital services tax (DTS) seperti Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Polandia, Portugal, Spanyol, Turki dan Inggris, meskipun strukturalnya berbeda-beda,” sambung Heru.

Pengamat Telekomunikasi, Kamilov Sagala mengatakan OTT menumpang layanan operator telekomunikasi bahkan bisa mengabaikan kedaulatan negara. “Bahkan Presiden keluar negari untuk bertemu bos OTT, kalau di operator telekomunikasi cuma sekelas Menteri yang datang,” kata Kamilov.

Tentu pemerintah harus segera membuat regulasi terkait OTT karena penting supaya OTT bisa turut mengambil beban universal service obligation (USO), lalu turut membayar biaya yang setara dengan biaya hak penyelenggara (BHP), turut membantu masyarakat yang dimarginalkan melalui CSR, hingga memperkuat kerjasama dengan operator.

“Bayangkan saja jika OTT mampu membantu membuat infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) maka masyarakat di sana juga bisa mengakses OTT dan pendapatannya juga semakin meningkat,” tandasnya.

Related Articles

- Advertisement -spot_img

Latest Articles