TEKNOBUZZ – Beberapa waktu lalu, Pemerintah Republik Indonesia (RI) telah melakukan Kesepakatan perdagangan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat tentang pengelolaan data pribadi warga RI oleh Pihak AS yang memasukkan komponen Cross Border Data Transfer (CBDF). Pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ini merupakan salah satu hal yang disepakati sebagai bagian dari kesepakatan penetapan tarif resiprokal 19% untuk Indonesia.
Rencana pengelolaan data pribadi Warga Negara Indonesia (WNI) oleh Amerika Serikat menuai respon positif dan negatif dari berbagai pihak. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syamsu Rizal menyatakan keberatan dan meminta penjelasan resmi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komidigi) terkait informasi tersebut.
Menurut pria yang akrab disapan Deng Ical ini, data pribadi merupakan aset strategis yang tidak boleh dikelola oleh pihak asing tanpa pengawasan ketat.

“Kesepakatan pengelolaan data warga Indonesia oleh Amerika Serikat sungguh mengkhawatirkan. Ini berpotensi besar melanggar kedaulatan data kita sebagai bangsa dan juga melanggar hak privasi fundamental setiap warga negara,” ujar Deng Ical seperti dikutip situs resmi FraksiPKB.
Menurutnya, dampak yang harus diantisipasi bukan hanya soal privasi, tetapi juga risiko penyalahgunaan data untuk tujuan yang membahayakan keamanan nasional.
Baca juga: Komdigi Pastikan Pengelolaan Data Pribadi Warga RI oleh AS Aman
“Data pribadi dapat digunakan untuk profiling, manipulasi informasi, hingga potensi intervensi asing. Ini bukan sekadar isu teknis, tapi menyangkut pertahanan negara,” tegasnya.
Untuk itu, Syamsu Rizal mendesak Kementerian Komunikasi dan Digital (Komidigi) agar segera memberikan penjelasan terbuka terkait proses dan isi kesepakatan tersebut. Ia mempertanyakan sejak kapan pembahasan dilakukan, siapa saja pihak yang terlibat, serta landasan hukum yang digunakan.
“Masyarakat dan DPR sebagai representasi rakyat berhak mengetahui secara rinci proses yang sangat strategis dan sensitif ini,” katanya.
Selain itu, ia meminta pemerintah tidak menutup-nutupi isi negosiasi tarif yang menyertakan klausul pengelolaan data WNI.
“Semua poin kesepakatan, termasuk implikasi teknisnya, harus dibuka secara transparan kepada publik. Ini demi memastikan akuntabilitas dan mencegah spekulasi yang bisa merugikan kepentingan nasional,” tambahnya.
Syamsu Rizal juga menegaskan bahwa mekanisme perlindungan data harus dijamin secara konkret. Ia mempertanyakan langkah yang akan diambil jika terjadi kebocoran data di luar yurisdiksi Indonesia.
“Komidigi harus jelas menjawab, bagaimana penegakan hukum dilakukan jika pelanggaran terjadi di luar negeri?” tanyanya.
Mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), ia menekankan bahwa regulasi tersebut tidak boleh dilemahkan oleh kesepakatan internasional yang tidak berpihak pada rakyat.
“UU PDP harus jadi tameng utama. Jangan sampai dilewati begitu saja oleh kesepakatan yang justru mengancam kita,” ujarnya.
Untuk itu, Syamsu Rizal meminta segera digelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komidigi.
“Keputusan krusial seperti ini tidak boleh diambil tanpa partisipasi dan pengawasan memadai dari wakil rakyat,” pungkasnya.