TEKNOBUZZ – Industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) Indonesia menghadapi tantangan serius dengan maraknya praktik jual-beli sertifikasi palsu, atau yang dikenal sebagai “paper mill”. Fenomena ini bukan sekadar masalah etika profesional, melainkan telah menjadi ancaman nyata bagi keamanan siber dan ketahanan nasional.
Ardi Sutedja K., seorang pemerhati dan praktisi keamanan siber dengan lebih dari 30 tahun pengalaman di industri keamanan siber baik di dalam maupun luar negeri, serta Ketua dan salah satu pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), menyoroti bahaya laten dari praktik ini.
Menurut Ardi Sutedja, bayangkan jika seorang profesional TI yang bertanggung jawab atas keamanan infrastruktur kritis sebuah bank atau instalasi pemerintah memperoleh sertifikasinya melalui jalur tidak resmi. Tanpa pemahaman dan kompetensi yang seharusnya, individu tersebut akan menjadi titik lemah dalam sistem pertahanan siber organisasi.
“Paper mill” dalam industri sertifikasi TIK beroperasi layaknya pabrik yang memproduksi dokumen palsu secara massal. Mereka menawarkan “jalan pintas” bagi para profesional yang ingin mendapatkan sertifikasi bergengsi seperti CISSP, CompTIA, atau CEH, tanpa harus melalui proses pembelajaran dan pengujian yang semestinya. Praktik ini kerap melibatkan pembocoran soal ujian, pemalsuan dokumen pengalaman kerja, bahkan penggunaan joki dalam ujian daring.
Dampak dari fenomena ini sangat berbahaya. Pertama, organisasi yang mempekerjakan profesional dengan sertifikasi palsu berisiko tinggi mengalami kebocoran data atau serangan siber karena tim keamanan mereka tidak mampu mendeteksi dan menangani ancaman sesungguhnya. Kedua, reputasi industri TIK Indonesia di mata internasional dapat tercoreng, yang pada gilirannya bisa memengaruhi investasi asing di sektor digital.
Yang lebih mengkhawatirkan, ketika praktik ini merambah ke sektor-sektor strategis seperti pertahanan, energi, atau infrastruktur pemerintahan, dampaknya bisa fatal bagi ketahanan nasional.
“Bayangkan jika sistem pertahanan siber kita dikelola oleh profesional yang tidak benar-benar memahami kompleksitas ancaman yang mereka hadapi,” ujar Ardi Sutedja.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Lembaga sertifikasi perlu meningkatkan keamanan proses ujian dan menerapkan teknologi anti-kecurangan yang lebih canggih.
Pemerintah harus memperketat regulasi dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga pelatihan dan sertifikasi. Perusahaan juga harus lebih teliti dalam memverifikasi keaslian sertifikasi kandidat mereka.
Para profesional TIK sendiri perlu memahami bahwa tidak ada jalan pintas menuju keahlian sejati. Sertifikasi seharusnya menjadi pengakuan atas kompetensi riil, bukan sekadar dokumen untuk memenuhi persyaratan kerja. Integritas profesional harus ditempatkan di atas godaan untuk mengambil jalan pintas.
“Fenomena paper mill dalam industri sertifikasi TIK bukan hanya masalah individual atau organisasional, tetapi telah menjadi ancaman serius bagi keamanan siber dan ketahanan nasional. Diperlukan kesadaran kolektif dan tindakan nyata dari seluruh pemangku kepentingan untuk memberantas praktik berbahaya ini,” tegas Ardi Sutedja.
Masa depan keamanan digital Indonesia bergantung pada kompetensi dan integritas para profesional TIK yang mengelolanya. Ardi Sutedja menekankan, kita tidak bisa lagi memandang remeh masalah ini atau berpura-pura bahwa ini hanya urusan internal industri TIK. Setiap sertifikasi palsu yang beredar adalah bom waktu yang mengancam keamanan digital kita.
“Sudah saatnya kita bertindak tegas dan bersama-sama membangun ekosistem profesional TIK yang berintegritas demi keamanan siber dan ketahanan nasional Indonesia,” pungkas Ardi Sutedja.